Notification

×

Iklan

Iklan

Empat Pencabut Nyawa Prada Luky Terkurung Dan Diam di Balik Jeruji Sel Militer

Selasa, 12 Agustus 2025 | Selasa, Agustus 12, 2025 WIB Last Updated 2025-08-11T21:51:50Z



The Jambi Times, NTT |  Di sebuah asrama militer di pelosok NTT, empat prajurit muda kini menjalani hari-hari mereka dalam penyesalan yang mendalam. Pratu Petris, Pratu Ahmad, Pratu Emiliano, dan Pratu Aprianto—keempatnya pernah punya mimpi yang sama: membela negara, membawa nama baik keluarga, dan mengenakan seragam hijau dengan bangga. Namun, mimpi itu kini hancur berkeping-keping, digantikan oleh jeruji besi dan bayangan kelam masa lalu.

 

Di balik disiplin ketat dan aturan besi, mereka menyimpan luka-luka lama. Masa kecil yang keras, senior-senior yang dulu juga pernah memukul mereka, tradisi "pendidikan lapangan" yang katanya demi membentuk mental—semuanya membentuk hati yang kaku dan dingin. Mereka mengira kekerasan adalah bahasa yang wajar di barak, sebuah siklus yang tak berujung.

 

Hingga suatu malam, rasa jengkel, ego, dan gengsi bertemu, merenggut akal sehat mereka. Prada Lucky, prajurit baru yang masih polos, menjadi sasaran. Satu pukulan diberikan, lalu yang lain ikut. Tawa sinis bercampur dengan amarah—tak ada yang menghentikan, tak ada yang berpikir kalau nyawa taruhannya. Malam itu, empat prajurit muda berubah menjadi iblis pencabut nyawa.

 

Di detik itu, keempatnya tidak melihat Lucky sebagai adik seperjuangan, tapi hanya “target hukuman” yang harus merasakan apa yang dulu mereka alami. Mereka lupa, bahwa luka lama bukan alasan untuk melukai orang lain. Mereka lupa, bahwa di balik seragam yang sama, ada hati yang sama-sama rapuh.

 

Beberapa jam kemudian, tubuh Lucky terkulai lemah. Nafasnya terputus-putus. Saat ambulans datang, tatapan mata Lucky begitu kosong—seakan berkata, “Kenapa, Kak?” Pertanyaan yang akan terus menghantui mereka seumur hidup.

 

Hari-hari setelahnya, bukan lagi senjata yang mereka genggam, melainkan borgol. Di ruang tahanan militer, malam menjadi panjang, sunyi, dan penuh penyesalan. Mimpi buruk tentang wajah Lucky terus menghantui mereka. Tangan yang dulu memukul, kini hanya bisa menutup wajah, menangisi perbuatan sendiri.

 

Mereka mulai menyadari: tidak ada pangkat, tidak ada alasan, tidak ada dendam yang pantas dibayar dengan nyawa seorang saudara. Namun penyesalan datang terlambat. Prada Lucky sudah pergi, dan empat orang ini harus menghabiskan sisa hidup mereka dengan beban terberat: menjadi penyebab runtuhnya mimpi seorang prajurit muda, dan menghancurkan kepercayaan keluarga, bangsa, dan Tuhan. Kini, mereka terkurung dan diam di balik jeruji sel militer, menanggung akibat dari perbuatan keji mereka.

 

Tragedi ini adalah tamparan keras bagi lingkungan militer, menyoroti dampak mengerikan dari kekerasan dan tradisi yang salah dalam proses pendidikan. Kisah ini adalah pengingat yang kuat akan pentingnya empati, pengendalian diri, dan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan tanpa berpikir panjang. Semoga tragedi ini menjadi pelajaran berharga agar tidak ada lagi Prada Lucky lainnya yang menjadi korban.


Reporter : Dance Henukh

×
Berita Terbaru Update